Homo Homini Lupus
Seorang pengamen kecil, bermodalkan kedua telapak tangannya,
mengiringi lagu yang keluar dari mulutnya yang cemongcemong
belum tersentuh air apalagi sabun mandi. Pengamen
kecil itu mengiringi kesibukan pagi di dalam bis yang masih
separuh kosong yang kutumpangi. Ia tidak membawa gitar, tidak
membawa kecrikan dari tutup botol yang dipaku di sebuah
kayu kecil, tidak juga membawa alat musik lainnya. Biasanya
para pengamen membawa alat pengantar musik untuk membantu
melantunkan sejumlah lagu, sebelum beberapa uang logam
dan uang kertas beralih ke dalam kantong permen yang
disodorkan ke beberapa orang yang tengah berbaik hati dan
mau berderma pada saat itu.
orang calon penumpang bis mencari bangku yang kosong
untuk diduduki. Tiba-tiba sebuah dorongan yang lebih
keras membuat tubuh si pengamen kecil terhuyung membentur
kursi bis. Rupanya ada seorang pengamen, dengan badan
gempal besar, merasa terganggu dengan kehadiran pengamen
kecil itu. Sepertinya si pengamen kecil cukup tahu diri dan mengerti jelas apa arti dorongan kasar yang baru saja ia terima.
Pelan-pelan, si pengamen kecil keluar dari dalam bis dan
membiarkan pengamen dengan tubuh gempal itu menggantikan
posisinya.
Homo Homini Lupus. Manusia menjadi serigala untuk
manusia lainnya. Siapa yang kuat ia yang menang. Apalagi
di sebuah kota besar. Jegal menjegal, tindas menindas,
sikut menyikut bukan barang baru lagi dan seakan menjadi
syarat utama untuk memenangkan pertandingan tanpa tropi.
Saat ini arti kata kuat bukan dari segi tenaga saja. Bukan yang
badannya berotot kawat bertulang besi layaknya Gatot Kaca
saja. Kuat juga dalam arti pintar, dalam arti teknologi, dalam
arti kecepatan pengelolaan informasi. Siapa yang lebih pintar,
siapa yang menguasai teknologi canggih, siapa yang cepat
mengelola informasi, ia yang menjadi pemenang dan menjadi
‘serigala untuk manusia lain’.
0 Response to "Homo Homini Lupus"
Post a Comment
komentar ditunggu blogger untuk lebih maju, terimakasih , ,